Tentang Mama Crea

Riana Berbagi

Hidup hakikatnya merupakan sebuah perjalanan,
yang akan terasa singkat, dan menakjubkan,....
didalamnya, kita belajar menjadi manusia seutuhnya,....
kita mengerti, dan kita berbagi.....

CERPEN


API KECIL DI DERMAGA
masuk dalam nominasi dan antologi Cerpen Pemuda 2010

Sudah setahun lamanya aku tidak pulang ke kampung halamanku. Sebuah desa nelayan jauh di pesisir utara Tangerang. Ada hasrat rindu yang meledak nyaris mendobrak relung dalam hatiku. Rinduku pada Emak, rindu pada Bapak, rindu pada Ifah, adik perempuanku semata wayang. Rindu pada sahabat-sahabat lama temanku melaut, teman menebar jala, kala aku masih disana dulu.
Angkot putih yang kutumpangi melaju lambat membelah jalan beraspal yang sepi. Biasanya pada akhir minggu dan hari libur, jalan ini selalu padat oleh kendaraan yang menuju ke laut. Pengap. Aku terhimpit diantara penumpang yang berdesakan. Dari pintu mobil yang terbuka aku masih bisa menatap hamparan sawah yang menguning padinya. Lalu sepanjang sekian kilometer, pemandangan berganti ladang tambak yang luas berpetak-petak yang dulunya milik warga nelayan dan kini telah berpindah tangan pada tuan tanah dan cukong-cukong besar. Penduduk disini kini sebagian besar hanya menjadi buruh harian.
Suara riuh rendah teriakan orang-orang memecah lamuananku yang dibuai pemandangan ladang tambak yang luas. Suara itu berasal dari puluhan muda-mudi yang memadati halaman depan Kantor Desa. Ada yang menarik disini. Pemandangan itu baru pertama kali kulihat di desa yang damai ini. sejak aku dilahirkan dan dibesarkan di tanah pesisir  ini, rasanya baru kali ini warga berani berunjuk rasa. Apa mungkin karena pergantian lurah kemarin menuai banyak protes karena kinerja yang buruk atau karena…
“Stop. Kiri, Pak…!” Kuketuk langit-langit mobil dengan uang logam. Sopir menghentikan mobil segera. Membuat tubuh para penumpang yang berdesakan berayun kearah depan, membuahkan umpat di mulut beberapa penumpang. Aku segera turun dan membayar ongkos. Angkot putih itu lalu melaju terus meninggalkan aku yang terpaku di luar pagar Balai Desa.
Desaku masih jauh, masih dua kilometer lagi dari sini. Tapi, biarlah. Seperti yang tadi aku bilang, ada yang menarik disini. Pengunjuk rasa yang kutaksir jumlahnya sekiar dua puluh orang ini sebagian besar perempuan. Diantara mereka ada yang memegang karton bertuliskan tuntutan-tuntutan entah apa. Dan yang paling menarik, sosok yang tadi sempat kulihat dan membuatku memutuskan untuk turun disini. Gadis berilbab panjang berumur sekitar sembilan belas tahun, menyandang pengeras suara di tangannya lalu memberanikan diri naik ke atas panggung orasi memulai koarnya. Aku berniat masuk ke halaman Kantor Desa itu, penasaran ingin mendengarkan orasi gadis manis berjilbab yang amat kukenal, dia Latifah, Ifah, adikku tersayang.
“Irfan…!” Seorang pria tegap berambut ikal menepuk lenganku. Langkahku terhenti, tak jadi masuk.
“Farid…?” Aku tersenyum lebar, seraya memeluk kawan lamaku yang lama tak kujumpa, Farid menepuk-nepuk bahuku hangat.
“Libur kuliah, Kamu?” tanyanya dengan senyum lebar khasnya yang membuat Farid kian karismatik.
“Ya, liburan. Kangen aku sama desa ini…”
“Iya lah, sudah berapa lama Kamu tidak pulang? Kami disini juga kangen sama Kamu…” Ujar Farid lalu menoleh kearah panggung orasi sambil menyikut lenganku, “Coba lihat itu..!”
Aku mengulum senyum.
”Ifah  masih seperti dulu; selalu berapi-api…” ujarku tenang. “Tapi dibalik itu, dia sangat penyayang…”
“Ya, tentu saja, Fan… Ifah berdiri disana juga karena dia sayang dan cinta pada desa ini. pada seluruh warga disini…”
Perkataan Farid membuat kian dalam keningku berkernyit.
“Ada apa sebenarnya Farid…?”
Farid tak lekas menjawab pertanyaanku. Dia malah terdiam seolah membiarkan aku mendengar orasi Ifah…
….Hentikan rencana itu! Jangan ada lagi ladang dosa di desa ini!
Lokasi itu pusat keagamaan, apa jadinya bila berdampingan dengan tempat maksiat?
Setiap bait kata yang dilontarkan Ifah mendapat sambutan meriah dari para demonstran. Kulihat beberapa hansip memagari pintu kantor desa.
“Ada apa sebenarnya, Farid? Aku tidak mengerti maksud orasi Ifah…”
“Kami disini, seluruh anggota Karang Taruna Desa menolak rencana…”
“Rencana apa?” tanyaku tak sabar.
“Rencana pembangunan diskotek di pintu masuk dermaga yang sudah disetujui pak kades, ini sebuah proyek dari seorang pengusaha besar dari Jakarta,…hemh, ini akan jadi penambah daya tarik bagi tempat wisata disini, tapi, banyak pertimbangan yang membuat kami harus membatalkan rencana itu…”
Ucapan irfan membuatku terdiam. Sementara dari kejauhan kulihat Ifah menatapku dengan penuh rindu.
***
Rencana pembangunan  tempat hiburan di desa pesisir ini bukan yang pertama. Ini adalah yang ketiga dan cukup membuat gerah warga setempat. Dua tempat hiburan sudah berdiri sejak setahun yang lalu di kawasan dermaga, dan kali ini akan dibangun sebuah diskotek besar di dekat pemukiman warga. Padahal mestinya, para pamong itu tahu, kawasan pinggir dermaga adalah pusat organisasi kepemudaan dan pusat kegiatan keagamaan warga desa.
“Tidak bisa di pintu dermaga. Tidak boleh…!!”
“Lahan yang akan dibangun itu tepat sekali di depan surau, tempat anak-anak mengaji…”
“Lahan itu tidak bisa untuk diskotek. Bayangkan saja, di dekatnya adalah sekretariat Karang Taruna,…”
“Hentikan lelucon ini…”
“Bar dan tempat karaoke di area dermaga saja sudah cukup meresahkan, apalagi di tambah sebuah diskotek? Di dekat surau pula…”
“Kita harus menghentikan ini….”
“Pemerintah Desa tidak boleh tergiur pada pajak yang dijanjikan…, kita harus mencegahnya…”
“Harus…”
“Ya, harus...!!”
...
Riuh obrolan di ruang rapat Sekretariat Karang Taruna membuatku terdiam. Rupanya demikian pesat perubahan desa ini selama setahun aku tak disini. Kulihat Ifah sibuk di meja sekretaris membenahi proposal-proposal yang tergeletak di meja.
“Kak Irfan, kakak juga mesti turut membantu kami, ya…!” ujar Ifah menatapku penuh semangat.
“Insya Allah…” ujarku singkat.
Rapat kecil segera dimulai, seluruh anggota Karang Taruna telah hadir. Aku didaulat sebagai moderator. Diskusi kali ini membahas upaya pengendalian penyakit kelamin di kawasan pesisir. Data terakhir menyebutkan dalam kurun waktu setahun, sepuluh orang warga desa ini telah tertular penyakit kelamin, dan tiga diantaranya telah meninggal dunia. Kesemua pengidap adalah perempuan.
“Saudara-saudara, kita tahu sebagian warga kita secara diam-diam menjadi pekerja seks di daerah wisata Pantai. Meski larangan yang berlaku demikian keras, namun masih ada saja yang menjadikan pekerjaan haram itu sebagai profesi. Penyakit Menular Seks atau PMS, menjadi resiko besar mereka. Dan kita sebagai pengurus organisasi kepemudaan, harus segera bertindak untuk mengatasi masalah sosial di desa kita ini…” Anwar, ketua Karang Taruna, membuka suara.
“Dari anggaran yang kita punya dan bantuan dari beberapa pihak, saya rasa kita bisa melakukan pembagian kondom gratis sebagai upaya pencegahan penularan penyakit tersebut…” usul Danto.
Brakkkk….Ifah menggebrak meja di ruang rapat. Dinding bilik sekretariat Karang Taruna ini seolah bergetar. Aku duduk di bangku paling pojok menyaksikan jalannya diskusi.
“Kenapa, Ifah, ada yang salah dengan ucapanku?” Danto bertanya tenang setelah ia mengusulkan akan membagi-bagikan kondom gratis pada para pekerja seks di kawasan pesisir ini.
“Bang Danto, memangnya Kamu setuju dengan profesi mereka? Mereka itu warga desa yang kurang mendapat perhatian pemerintah. Mereka miskin, mereka susah, mereka bekerja menjual diri di desa sendiri yang notabene kaya raya…., membagikan kondom gratis sama saja mengumbar mereka berbuat dosa, malah kita mendukung…!“
“Menurutku, ide Danto bisa dipertimbangkan, sebab seperti kita tahu dalam sebulan ini, tiga warga desa ini meninggal karena penyakit kelamin, yah… karena profesi mereka sebagai pekerja seks. Membagikan kondom bukan berarti mendukung, kita hanya berusaha melindungi mereka dari kemungkinan tertular penyakit,…rencana itu untuk jangka pendek,…” Rifda, gadis berambut pendek itu berkata pelan.
“Nah, untuk jangka panjangnya, kita akan memikirkan, bagaimana solusi terbaik untuk membuat mereka meninggalkan pekerjaan terlarang itu…”
“Tentunya, kita perlu meningkatkan keterampilan dan pendidikan agama di kalangan masyarakat…” ujar Ifah yang telah bisa mengatur nafasnya.
***
Malam ini, bintang benderang; laut tenang; angin dingin meresapi temulang.  Ifah mengajakku ke pantai, dan disana sudah berkumpul kawan-kawannya anggota Karang Taruna. Ketika kami datang, mereka sudah selesai menyiapkan unggun. Disebelah Utara Pantai ini, yakni kawasan dermaga, kulihat dua tempat hiburan gempita dengan suara musik yang menghentak-hentak telinga. Ramai pengunjungnya yang rata-rata datang bermobil, sebagian  datang jauh dari kota, sebagian ada pula warga sekitar. Beberapa kali mataku menangkap sosok wanita warga desa yang berpakaian minim, bukan satu orang tapi beberapa, biasanya wanita-wanita itu akan mendekati calon pelanggannya, menawarkan diri, lalu kemudian aksi berlanjut di gubuk-gubuk sunyi yang dibiarkan liar berdiri di sepanjang sudut pantai yang sepi. Kami semua tahu itu, dan kami tak kurang memberi himbauan nasehat. Namun, bila Pemerintah Desa tidak mendukung, apa daya…
Wuss… Farid menyalakan pemantik lalu menularkan api pada tumpukan kayu pohon ambon yang tersusun diatas ban-ban mobil bekas. Unggun begitu besar, menyala terang; membagikan kehangatan pada sekitar. Aku dan dua puluh remaja desa ini duduk melingkari unggun, lalu mengucap ikrar pemuda. Rundingan kali ini masih sama. Menolak dibangunnya tempat hiburan baru di dekat pemukiman warga.
“Tugas kita merobohkan gubuk-gubuk liar itu belum terlaksana, kini bila harus ditambah sebuah tempat hiburan, aku tak bisa membayangkan..” Ifah berujar serius.
“Padahal kita sudah menyiapkan lapangan kerja untuk para perempuan, bilik kerajinan Karang Taruna selalu menerima orang, tapi bila tempat hiburan itu didirikan, tentu mereka akan kembali ke jalan hitam, memilih mencari uang dari tempat gemerlap itu…”
“Teman-teman…” Ifah berujar “Apapun yang terjadi kita harus tetap merapatkan barisan. Kita ini organisasi kepemudaan, kita harus bisa mengatasi masalah sosial, biarpun rundingan dengan pihak desa terasa sulit, tapi desa ini adalah milik kita, kita juga yang akan jadi penerusnya. Kita akan tetap bersama. Untuk kesejahteraan desa ini dan untuk kemakmuran penduduk di sini…”
Ifah menjulurkan tangan ke tengah didekat unggun, kawan yang lain tanpa aba-aba lagi lalu menumpuk tangan ifah dengan tangan mereka. Aku pun turut.
Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh…!!!!
Seruan penuh semangat itu membahana, mengiringi letup-letup kecil unggun besar yang terus berkobar.
Aku menatap di kejauhan, di tepian dermaga itu, cahaya gemerlapan.
“Hei, ada apa itu?” Farid, menunjuk di kejauhan. Kami semua bangkit berdiri melihat sesuatu terjadi di tempat hiburan jauh di tepi dermaga itu. Pengunjung buyar, namun musik masih menghentak-hentak. Mobil patroli datang bersama ambulans. Kami serempak berlari meninggalkan unggun, menuju tempat gemerlap itu. Kami ingin menyaksikan apa yang terjadi.
Kerumunan orang membentuk pagar betis, kami melongok apa yang terjadi di dalam. Aku melihat Polisi membekuk dua orang pria berbadan tegap berjaket kulit warna coklat tua. Entah apa salah mereka. Lalu beberapa orang menggotong jenazah seorang pria muda mulutnya penuh busa.
“Apa yang terjadi?” tanyaku pada seorang pengunjung yang berdiri di sisiku…
“korban over dosis... yang dibekuk polisi itu pengedar…”
aku dan Ifah saling berpandangan. Lalu dari dalam kulihat keributan kecil terjadi, beberapa orang buyar dan menjerit saat…
DOOORR…
Seseorang melepas tembakan, bukan seorang polisi, tapi seorang pria berkemeja putih. aku tak tahu siapa dia. mungkin pemilik bar ini, atau mungkin pengunjung yang merasa terancam. Beberapa polisi bersenjata dengan sigap segera meringkus pria itu, lalu merebut tas besar yang ia bawa, entah apa isinya. Aku menggenggam tangan Ifah, ingin segera mengajaknya pulang, lokasi ini tak aman, pikirku, namun, Ifah masih ingin bertahan, bersama pemuda Karang Taruna yang lain. Satu persatu mobil polisi meninggalkan lokasi. Ambulans yang membawa jenazah korban over dosis itu juga telah lama pergi. Batas pengaman telah dibuat, para pengunjung masih memadati area parkir, aku mengajak Ifah pulang, kawan-kawan yang lain juga ikut pulang, tiba-tiba beberapa orang entah dari mana membawa batu-batu dan melempari tempat hiburan yang sudah disegel itu…. Dari wajahnya aku mengenali mereka adalah penduduk desa pinggir. Pengunjung yang berada dia area parkir berhamburan ke segala arah, banyak mobil-mobil mereka yang tak selamat dari amukan masa. Kaca pecah, dan sebagainya. Tempat ini jadi hiruk piuk,  pegangan tanganku lepas dari Ifah, kami tak bisa menahan arus manusia yang berdesak-desakan keluar dari area parkir, aku mencari-cari Ifah di antara kerumunan orang.
“IFAH…!!” teriakku…”IFAH…!!”
“Irfan, Ifah mana?” Farid mendekatiku… aku mneggeleng, peluh menitik di tengah gerah suasana. ..kawan-kawan Karang Taruna saling mendekatkan diri agar tidak terpisah, kami mencari Ifah…
“Tolooooooong…!! KAK IRFAN…!!!” suara ifah, aku segera mencari suara itu, diikuti farid berjejalan kami menelusup hiruk-pikuk orang-orang yang bersembunyi didepan warung-warung ikan bakar yang ditutup pemiliknya..
“Iffaaahh…!!!” teriakku saat kulihat Ifah di peluk oleh seorang lelaki tua yang mabuk berat…
“Kak..!” ifah berurai air mata mencoba melepas cengkeraman lelaki berbadan besar itu. Aku segera menghampiri mereka lalu sekuat tenaga aku pukul wajah lelaki itu. Ifah di lepasnya. Farid segera menolong Ifah, sementara lelaki biadab itu menatapku dengan amarah,….
“IFAH, cepat pergi..!!!, IRFAN, bawa Ifah pergi..!!! CEPAT…!!!” tak banyak yang bisa kupikirkan di suasana genting seperti ini, yang aku tahu aku hanya ingin memastikan, Ifah selamat.
“CEPAAT…!!!!!” teriakku sekuat tenaga, lalu Farid segera membawa Ifah pergi, meski Ifah menagis sekuat tenaga ingin tetap pulang bersamaku. Aku ingin pergi bersama mereka, tapi, lelaki berbadan besar itu menahanku, kami terlibat baku hantam beberapa kali, aroma alkohol yang menyeruak dari mulutnya membuatku mual…. Lalu dari balik jaketnya dia mengeluarkan sesuatu. Mataku ter belalak…..
***
Malam ini bintang benderang,
Laut tenang,
Angin dingin meresapi temulang.
Sudah setahun lamanya aku tidak pulang ke kampung halamanku. Sebuah desa nelayan jauh di pesisir utara Tangerang. Ada hasrat rindu yang meledak nyaris mendobrak relung dalam hatiku. Rinduku pada Emak, rindu pada Bapak, rindu pada Ifah, adik perempuanku semata wayang. Rindu pada sahabat-sahabat lama temanku melaut, teman menebar jala, kala aku masih disana dulu.
Dan rindu telah terobati…
Dari kejauhan aku melihat suasana kian sepi, sebagian orang-orang telah pulang. Sekelompok pemuda berkerumun di dekat lokasi hiburan itu di dekat warung-warung penjual ikan bakar yang ditutup pemiliknya, mengerumuni sesuatu, dan mereka sebagian menangis.
Dari kejauhan, kulihat Ifah berteriak, berlari menuju unggun yang masih berkobar, serupa semangatnya dan para taruna desa… semangat muda yang menyala. Ifah kembali dengan seonggok kayu ditangannya, kayu yang diujungnya nyala api berkobar, tangis tak surut dari kedua matanya, aku merasa begitu berat melihatnya, Ifah adik perempuanku semata wayang, adikku yang kusayang, dia terpisah dari kerumunan, menatap penuh amarah pada bangunan tempat hiburan yang berdiri di depannya, dengan air mata yang kian deras, Ifah melemparkan kayu membara itu ke dalam diskotek… dan wusss….
Dari kejauhan, aku melihat unggun kian kecil, dari kejauhan aku melihat tempat hiburan itu membara diamuk api besar, aku semakin jauh, dan yang tampak hanya api kecil di dermaga, api yang terus berkobar, serupa amarah dan semangat Ifah.
SELESAI

Tangerang, 15-22 Juli 2010
Riana SR.